Cuaca Memburuk, Pemanfaatan Bambu bisa jadi Solusi
Saat ini perubahan iklim terjadi sangat ekstrem. Perubahan iklim yang ekstrem ini sangat berdampak pada kehidupan manusia. Perubahan ini berdampak pada kesehatan manusia, lingkungan, hutan, kualitas dan kuantitas air, habitat, lahan pertanian dan ekosistem wilayah pesisir. Kenaikan suhu bumi tidak hanya berdampak pada naiknya temperatur bumi tetapi juga merubah sistem iklim dan tentu saja sangat berdampak pada kelangsungan kehidupan manusia. Salah satu bentuk dampak dari perubahan iklim yang ekstrim ini adalah es- es di kutub yang mencair sehingga menyebabkan banjir. Perubahan iklim juga berdampak pada perubahan musim, seperti musim kemarau yang berkepanjangan, gelombang panas yang meningkatkan suhu udara secara ekstrem dan juga hujan lebat yang sering sekali terjadi. Hal- hal ini seringkali menjadi permasalahan lingkungan yang memiliki dampak kesehatan pada manusia.
Bambu sebagai Tanaman Penyerap CO2 yang Baik
Sebagai salah satu upaya yang dapat tani muda lakukan untuk mengurangi dampak perubahan iklim adalah dengan memanfaatkan tanaman bambu. Bambu, buluh, atau aur adalah tumbuhan berbunga menahun hijau abadi dari subfamili Bambusoideae yang termasuk famili Poaceae. Bambu adalah tanaman yang memiliki pertumbuhan paling cepat karena memiliki sistem rhizoma-dependen yang unik. Dalam sehari bambu bisa tumbuh sepanjang 60 cm bahkan lebih, tergantung pada kondisi tanah dan klimatologi tempat di tanam.
Budidaya bambu memiliki banyak manfaat bagi kehidupan sehari- hari. Salah satunya adalah bambu bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki dampak perubahan iklim. Vegetasi bambu memiliki daya serap karbondioksida paling besar dibandingkan dengan pohon lain karena bambu memiliki kemampuan fotosintesis yang efisien, yaitu menyerap kembali sebagian karbondioksida yang dihasilkan.
Upaya KLHK Melihat Potensi Bambu
Seperti yang diketahui bahwa bambu dapat membantu menjadi salah satu solusi dari permasalahan iklim di Indonesia. Selain efektif sebagai pengendalian perubahan iklim, bambu juga sangat efektif untuk merehabilitasi lahan terdegradasi, dapat diolah menjadi berbagai jenis produk berkualitas. Pemanfaatan bambu ini juga dapat memberi kesempatan kepada masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya. Menurut pendiri Yayasan Bambu Lestari, Arief Rabik “Bambu adalah tanaman juara untuk memperbaiki lahan”. Menurutnya satu rumpun tanaman bambu dapat menyimpan hingga 5.000 liter air dan menjadikannya sangat baik sebagai tanaman pengatur tata air. 1 hektar tanaman bambu dapat menyerap 50 ton gas rumah kaca setara karbon dioksida setiap tahunnya.
Budidaya bambu sendiri tergolong tidak sulit dan dapat dilakukan oleh masyarakat. Permasalahan saat ini adalah nilai ekonomi dari bambu tidak begitu tinggi. Padahal produk hasil dari bambu terus berkembang. Berbagai jenis produk berkualitas dapat dihasilkan dari bambu mulai dari serat tekstil hingga panel untuk keperluan konstruksi. Untuk itu pihak dari Yayasan Bambu Lestari bekerja sama dengan Kemenklhk untuk menggenjot pengembangan 1.000 desa bambu di seluruh Indonesia, dimana nantinya setiap desa akan menanam sedikitnya 70.000 bibit bambu seluas 2.000 Ha atau setara 35 rumpun/Ha.
Untuk mendukung pengembangan budidaya bambu, Desi Ekawati, Peneliti pada Badan Penelitian dan Pengembangan Inovasi LHK, yang juga merupakan Koordinator Tim Proyek Organisasi Kayu Tropis Internasional (ITTO), untuk pengembangan bambu menyatakan bahwa, saat ini pihaknya sedang mengembangkan teknik pembibitan bambu. Berdasarkan teknik yang dikembangkan, bibit bambu ditanam setelah terbentuk rumpun yang terdiri dari beberapa tunas bambu. “Dengan Spartan seedling, rumpun bambu sudah mulai bisa dipanen secara selektif setelah 2-3 tahun. Padahal kalau penanaman konvensional yang hanya satu bibit, butuh 8-9 tahun,” jelasnya.
Kemenklhk menyatakan siap mendukung pengembangan 1.000 desa bambu dan berharap budidaya tanaman bambu bisa menjadi bagian dari strategi pembangunan nasional Indonesia. Potensi tanaman bambu sebagai solusi pengendalian perubahan iklim ini juga ditegaskan oleh Arjan Van Der Vegte, Manajer Riset dan Pengembangan MOSO, sebuah perusahaan pengolah bambu terintegrasi asal Belanda. Menurut Arjan, pihaknya sudah memproses bambu menjadi produk flooring dan berbagai produk konstruksi.