Mengenal Industri Hijau pada Industri Pupuk, Ini Dia Pelopornya
Pernah mendengar istilah industri hijau? Industri hijau merupakan industri yang dalam proses produksinya menerapkan upaya efisiensi dan efektifitas dalam penggunaan sumber daya secara berkelanjutan. Dengan kata lain, industri hijau adalah sebuah industri yang ramah lingkungan.
Industri hijau mensyaratkan bahan baku, energi, dan proses yang ramah lingkungan. Selain itu dibutuhkan teknologi yang ramah lingkungan sehingga bisa se efisien mungkin dalam penggunaan sumber daya alam. Industri hijau juga mensyaratkan adanya limbah buang yang tidak terlalu merusak lingkungan.
Ada sembilan jenis industri hijau, antara lain:
- Pengembangan hutan energi
- Ekowisata
- Pembentukan kebun raya atau hutan kota
- Penangkaran satwa liar dan langka,
- Pengembangan hutan non hasil kayu seperti getah dan sebagainya.
- Pengembangan produk subtitusi impor
- Pengolahan limbah energi dari hasil pemanfaatan mikroba
- Pemanfaatan panas bumi (geothermal)
- Restorasi ekosistem
Kementerian Perindustrian sendiri telah menerbitkan aturan mengenai pedoman penyusunan standar industri hijau (SIH) yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 51/M-IND/PER/6/2015.
Standar Industri Hijau merupakan acuan para pelaku industri dalam menyusun secara konsensus terkait dengan bahan baku, bahan penolong, energi, proses produksi, produk, manajemen pengusahaan, pengelolaan limbah dan/atau aspek lain yang bertujuan untuk mewujudkan industri hijau.
Potret Transformasi Petrokimia Jadi Industri Hijau
Dewasa ini, tuntutan menuju industri hijau makin tinggi, seiring terus meningkatnya kesadaran terhadap perubahan iklim global. Karena itulah, Indonesia sebagai salah satu negara yang berbasis industri dalam mengembangkan sumber dayanya, tidak ketinggalan untuk ikut mengkampanyekan dan menerapkan transformasi ke arah industri hijau.
Salah satu industri yang disoroti untuk turut menekan emisinya adalah industri petrokimika. Pasalnya, industri petrokimia merupakan industri di sektor hulu yang menyediakan hampir seluruh bahan baku industri hilir seperti industri plastik, tekstil, cat, kosmetik, hingga farmasi, dengan melalui proses produksi yang memanfaatkan energi.
Oleh karena itu, industri petrokimia digadang-gadang menjadi sebuah industri yang dinilai paling tepat untuk bertransformasi menjadi industri hijau dan berkelanjutan guna mendukung target Indonesia bebas emisi karbon di tahun 2060 yang diwujudkan dalam dokumen yang dinamakan nationally determined contribution (NDC).
Praktik Net Zero Emission (NZE) yang dilakukan adalah melakukan penyerapan terhadap gas rumah kaca dalam jumlah yang sama atau lebih besar dari emisi yang dihasilkan. Industri petrokimia berperan signifikan dalam upaya pencapaian bebas emisi karbon, bahkan sebagai penentu keberhasilan tercapainya bebas emisi karbon yang tertera dalam persetujuan paris (Paris Climate Agreement).
Dengan demikian, kesiapan pelaku industri menerapkan prinsip keberlanjutan dalam menjalankan bisnis hingga tercipta industri yang lebih hijau perlu diperhatikan, terutama di industri petrokimia mengingat peran vitalnya yang mendukung tercapainya ketahanan pangan dan menjadi katalisator ekonomi pada level nasional maupun global.
PKT Sebagai Pelopor Transformasi Petrokimia Jadi Industri Hijau
Sebagai salah satu pemain utama di industri petrokimia Indonesia, PT Pupuk Kalimantan Timur (Pupuk Kaltim/PKT) siap menjadi pionir transformasi industri petrokimia menjadi industri hijau.
PKT mengintegrasikan berbagai upaya yang sudah tertera dalam peta jalan PKT agar lebih hijau dan berkelanjutan. Langkah tersebut dilakukan untuk mendukung target pemerintah terkait net zero emission (NZE) di 2060.
Direktur Utama Pupuk Kaltim, Rahmad Pribadi mengatakan, terciptanya industri hijau dapat dilakukan dengan mengintegrasikan berbagai upaya yang sudah tertera dalam roadmap perusahaan agar lebih hijau dan berkelanjutan.
“Pupuk Kaltim melihat ke depannya perusahaan tidak hanya dituntut menjadi lebih produktif tetapi juga lebih ramah lingkungan,” ujarnya
Menurutnya, hal itu tertuang dalam roadmap 40 tahun PKT yang akan fokus ke arah industri petrokimia yang berbasis renewable atau energi batu dan terbarukan (EBT). Roadmap tersebut terdiri dari 3 fokus pondasi utama.
“Yaitu, efisiensi energi lewat digitalisasi, diversifikasi usaha dengan bahan baku energi terbarukan dan melakukan praktik ekonomi sirkular guna memanfaatkan emisi produksi menjadi komoditas bisnis baru seperti soda ash,” paparnya.
Praktik-praktik ini, lanjut Rahmad, tidak hanya sebagai upaya mengurangi jejak karbon, tetapi dapat memberikan dampak keberlanjutan dan multiplier effect positif baik bagi perusahaan, masyarakat sekitar, maupun negara.
Dalam upaya pengurangan jejak karbon, Rahmad juga menjelaskan bahwa saat ini PKT sudahmemulai penggunaan biomassa sebagai sumber energi alternatif yang lebih ramah lingkungan,sebagai campuran pembangkit listrik boiler batubara. Melalui praktik ini, diperkirakan dapat mengurangi emisi pabrik hingga 5,4 persen.
Selain itu, Langkah lain yang telah dilakukan PKT adalah reaktivasi pabrik urea Proyek Optimasi Kaltim (POPKA-2) yang berpotensi mengurangi emisi 3,4 perse atau sebesar 145.408 ton CO2 per tahun, juga menyiapkan kapasitas penyimpanancarbon storage sebesar 130 MM ton CO2 atau sekitar 21 persen dari total potensi penyimpanan karbon di Indonesia.
Pada 2021 lalu, PT Pupuk Kalimantan Timur atau PKT meraih penghargaan Industri Hijau ke-9 dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin) atas komitmen penerapan prinsip industri hijau dalam proses produksi dan aktivitas bisnis perusahaan. PKT juga menerima piagam Surveilance Sertifikasi Industri Hijau (SIH), sebagai apresiasi atas konsistensi mempertahankan pemenuhan standar industri hijau sesuai ketetapan Kemenperin.
Staf Direktur Operasi dan Produksi PKT Ahmad Mardiani mengatakan PKT memiliki komitmen kuat dalam mengimplementasikan prinsip industri hijau secara signifikan dan berkesinambungan, yang mencakup efisiensi energi, efisiensi pemakaian bahan baku dan bahan penolong hingga efisiensi pemakaian air.
“PKT juga menerapkan inovasi teknologi yang mengacu pada 4R (Reduce, Reuse, Recycle dan Recovery) pada proses produksi, dibarengi penggunaan energi baru terbarukan serta pemenuhan baku mutu lingkungan pada limbah cair maupun emisi,” kata Ahmad.